Rabu, 02 September 2015

Suku Tengger Jawa Timur


Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo.
Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).

Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

Pada awal abad ke-16 para pemuja Brahma di Tengger kedatangan  orang Hindu Parsi ( Parsi berasal dari kata Persia, yaitu “wilayah di sekitar laut Iran” ). Oleh karena itu beralihlah agama mereka dari Brahma ke agama Parsi ( Hindu Parsi ). Semua petangan-petangan atau ngelmu-ngelmu yang dimiliki orang Tengger ternyata masih berasal dari pemujaan terhadap matahari, bulan, bintang-bintang sebagai pengendali dari keempat unsur utama : api, air, tanah, udara. Akan tetapi pada saat ini petangan dan ngelmu yang mereka miliki juga dilakukan oleh penduduk Tengger yang beragama Islam, karena nenek moyang mereka beragama Hindu Parsi.

Dalam hal ini orang Tengger Islam masih menganut kepercayaan ngelmu yang berkaitan dengan penentuan “hari baik” dan “hari buruk” untuk tujuan umum maupun khusus. Juga kepercayaan pada waktu-waktu yang baik dan buruk yng terdapat dalam satu hari serta kepercayaan akan kekuatan-kekuatan bila melakukan suatu tindakan. Tindakan khusus misalnya akan dilakukan ketika meninggalkan rumah, dan syarat syarat penolakan terhadap mara bahaya yang mungkin timbul didalam perjalanan. Mereka masih dapat ditemukan di 24 lebih desa yang berada disana seperti Tosari, Ngadiwana, Ngadirejo, Nongkojajar, Ngadisari dan sebagainya, paling utama yang masih berada di wilayah Pasuruan dan Probolinggo dan secara antropologis mereka dapat di kelompokkan  ke dalam golongan Badui dan Bali.

Sejarah dan Perkembangan Suku Tengger

Wong Tengger atau orang-orang pegunungan merupakan sebuah kelompok khusus karena mereka merupakan keturunan terakhir dari peradaban Majapahit pada akhir masa periodenya. Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger.

Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.

Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar